Letak desa Tempuran bisa dibilang berada di pinggiran Nganjuk. Lokasinya sekaligus sebagai pembuka Kecamatan Ngluyu. Namun, desa ini tak berada di pinggir jalan raya kecamatan. Melaikan justru ada di pelosok.
Tepatnya berada di cekungan bukit Kendeng. Desanya pun masih asri. Beberapa rumah warganya masih berdinding kayu. Sawah membentang di kaki-kaki bukit.
Jalan masuk ke desa ini pun sebenarnya sudah beraspal, meski banyak yang sudah mengelupas. Dengan jumlah warga yang terdiri dari 650 kepala keluarga (KK), desa ini tergolong berprestasi. Setidaknya, Badan usaha milik desa (BUMDes) Mitra Sejahtera yang berada di Dusun Tempuran, Desa Tempuran, berhasil menembus lima besar BUMDes berprestasi.
Bagaimana bisa BUMDes di pedalaman Nganjuk ini unggul dibanding ribuan BUMDes di Jatim? Rupanya, prestasi itu tak datang dengan cara instan. Mereka sudah merintis BUMDes sejak 2002 lalu. Saat itu bentuknya belum BUMDes. “Awalnya memang UPK Gerdu Taskin (Unit pengelola keuangan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan, Red),” kata Juzianto, Ketua BUMDes Mitra Sejahtera pada koran ini siang kemarin.
Seiring berjalannya waktu, UPK ini lantas bermetamorfosa menjadi BUMDes pada tahun 2009. Ide awal pembentukan UPK ini muncul saat melihat banyaknya masyarakat di desa yang masih berada dalam garis kemiskinan.
Maklum saja, 2002 lalu Desa Tempuran memang termasuk desa yang banyak dihuni rumah tangga miskin (RTM). Bahkan, dari sekitar 600 KK kala itu, sebanyak 406 KK atau mayoritas merupakan warga miskin.
Namun, berkat adanya program Gerdu Taskin yang menitik beratkan pada simpan pinjam, lambat laun jumlah RTM makin berkurang. Masyakat jadi memiliki modal. Melanjutkan tren baik tersebut, BUMDes pun didirikan. “Jadi masuk semua, mulai dari P2WKSS (Peningkatan peranan wanita menuju keluarga sehat dan sejahtera) dari Dinas kesehatan, Koperasi Wanita, semua masuk BUMDes ini,” lanjut Juzianto.
Berbekal pengembangan modal dari Gerdu Taskin sebesar Rp 50 juta, kini BUMDes ini sudah berhasil menelurkan sejumlah program. Selain simpan pinjam, juga ada Tabungan masyarakat desa (Tamasa) yang menjadi penyokong kegiatan simpan pinjam di desa ini. Kemudian, ada pula usaha yang dinamai Lumbung Paceklik.
Sesuai namanya, usahanya ini untuk menyediakan pangan bagi warga jika sedang musim paceklik atau gagal panen. Konsepnya mirip dengan simpan pinjam. Hanya saja, yang dipinjam bukan uang, melainkan gabah.
Di musim panen, BUMDes akan membeli gabah dari petani. Gabah ini lantas disimpan di gudang untuk dipinjamkan pada petani jika mereka gagal panen. “Bentuknya gabah, nanti mengembalikannya juga dalam bentuk gabah. Nilainya saat ini Rp 40 jutaan,” ujarnya.
Meski dinamai lumbung, sebenarnya BUMDes Mitra Sejahtera sendiri ini belum benar-benar memiliki lumbung atau gudang yang representatif. Gudang yang digunakan masih meminjam gudang milik salah satu warga di Dusun Talunsambi.
Gudang itu juga tak terlalu besar, sehingga maksimal hanya bisa menyimpan 5 ton gabah kering. “Kemampuannya besar, tapi gudangnya tidak cukup. Jadi kalau penuh, gabah kembalian dari warga dimasukkan. Yang lama dijual,” beber bapak dua anak ini.
Meski konsep lumbungnya belum sempurna, dari simpanan gabah itu, selama musim paceklik kini tak ada lagi petani yang sampai kesulitan mendapatkan gabah untuk konsumsi. “Kami selalu menyediakan,” imbuhnya.
Belasan tahun berselang, perputaran uang di BUMDes ini bisa dibilang cukup besar. Saat ini, dari sekitar 450 anggotanya, jumlah tabungan sudah mencapai Rp 169 juta. Selain untuk mendidik masyarakat agar punya simpanan, tabungan ini juga menjadi sokongan dana saat kredit simpan pinjam sedang seret.
Apakah debitur selalu membayar cicilan pinjaman tepat waktu? Ditanya demikian, pria yang sudah menjadi ketua sejak tahun 2003 ini menggelengkan kepala. Kerap kali, para peminjam belum membayar saat batas waktu peminjaman sudah jatuh tempo. “Kalau tidak ada modal kan sulit, makanya ada tabungan ini juga,” tandasnya.
Menghadapi debitur yang menunggak, BUMDes Mitra Sejahtera punya cara tersendiri untuk menanganinya. Salah satunya, dengan mendatangi para peminjam itu satu per satu. Selanjutnya, mereka diminta membuat surat pernyataan.
Namun, surat pernyataan itu bukan diketik oleh petugas. Melainkan, harus ditulis sendiri oleh si peminjam. Isi pernyataannya, terkait waktu kesanggupan membayar cicilan. “Kalau sampai batas itu nunggak lagi, maka ditunjukkan saja, ini lho dulu sampeyan sudah menulis begini. Jadi ditunjukkan tulisannya sendiri,” kenangnya.
Jika masih bandel juga, debitur akan diminta menulis pernyataan bermaterai, dan diketahui oleh Ketua BUMDes dan Kepala desa (Kades) setempat. Berkat kegigihan BUMDes Mitra Sejahtera, 2015 lalu, BUMDes ini mampu mengharumkan nama Nganjuk di tingkat provinsi. Prestasi itu seolah mengulang kesuksesan yang diraih UPK pada 2004 lalu. Kala itu, UPK Sejahtera mampu meraih juara se-Jatim.
Dibalik kesuksesan BUMDes Mitra Sejahtera, ada sejumlah cerita lucu dibaliknya. Seperti dituturkan Sri Nofiati, 25, ketua unit simpan pinjam BUMDes Mitra Sejahtera. Perempuan muda ini kerap harus bersabar saat menghadapi warga yang hendak meminjam uang.
Sebab, meski petugas sudah mengatakan uang di kas BUMDes sedang kosong, mereka tetap nekat menunggu. “Duduk aja lama di sini, padahal sudah dibilangi tidak ada,” kenangnya sambil tersenyum.
Dia juga sering geli sendiri saat menemui calon debitur yang datang tanpa membawa kelengkapan dokumen. Mulai dari KTP, Kartu keluarga (KK), dan jaminannya. “Jadi datang ke sini orang tok. Nggak bawa apa-apa, jadi ya sampai bolak-balik orangnya, 2 – 3 kali,” urai alumnus IKOPIN Bandung ini.
Juzianto pun menyadari hal itu. Pria yang juga bekerja sebagai pencatat meter di PLN ini juga kerap mengalaminya. Bahkan sebagai ketua, ia pernah menerima orang yang akan meminjam uang di rumahnya. Bukan jam kerja, yakni 08.00 – 16.00, tapi malam hari. “Jam 21.00 juga pernah. Tapi orangnya butuh. Ya tetap dilayani,” tandasnya. (ut)
Sumber : Radar
0 Response to "BUMDes Mitra Sejahtera Desa Tempuran, Ngluyu, Tembus 5 Besar Jatim"
Post a Comment