Mantan Menteri Penerangan, Harmoko mendirikan Padepokan Seni Budaya di kota kelahirannya, Nganjuk. Kata dia, itu untuk memenuhi wasiat almarhum sang ayah yang dikenal sebagai seniman.
Kedatangan Harmoko ke Desa Patihanrowo, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Ahad (6/5/) kemarin bukanlah hal aneh bagi warga setempat. Pasalnya, mantan Menteri Penerangan dan Ketua DPR/MPR RI era Orde Baru tersebut lahir dan besar bersama 10 saudaranya di tempat itu.
Berbeda dengan kunjungannya saat menjabat sebagai pejabat negara beberapa tahun lalu, kedatangan Harmoko untuk meresmikan padepokan seni budaya kali ini tampak biasa-biasa saja. Tidak ada pengawalan apapun dari petugas Polres Nganjuk sebagaimana layaknya kunjungan orang penting.
Di depan puluhan pengurus padepokan dan seniman Jawa di Nganjuk dan Karesidenan Kediri yang hadir, Harmoko mengatakan bahwa pendirian ini untuk memenuhi wasiat almarhum ayahnya, Asmoprawiro.
Selain mantan pejuang kemerdekaan yang pernah bergabung dengan Barisan Penyelamat Republik Indonesia (BPRI) yang dipimpin Bung Tomo, Asmoprawiro juga dikenal sebagai seniman.
“Pendirian padhepokan ini merupakan amanah dari almarhum Bapak sebelum meninggal, sebagai tempat berkumpul dan berkreasi para seniman,” jelas Harmoko.
Karena itu, ia berharap agar para seniman tua lebih bisa terbuka kepada kaum muda agar tertarik untuk mempelajari dan mewarisi kebudayaan masyarakat Jawa. Apalagi perkembangan dunia informasi global tidak bisa dipungkiri telah mempengaruhi aliran kebudayaan kaum muda Indonesia.
Selain memperkenalkan susunan pengurus padepokan Trah Asmoprawiro, dalam kesempatan itu Harmoko juga membagi-bagikan brosur berisi profil sang ayah. Dalam brosur berbahasa Jawa tersebut dijelaskan bahwa darah seni sudah melekat pada diri Asmoprawiro sejak kecil.
Seniman yang lahir di Desa Jati, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk pada tahun 1901 silam ini memulai karir sebagai tukang jahit, yang mayoritas pelanggannya adalah buruh pabrik gula.
Karena seringnya berinteraksi dengan buruh pabrik, Asmoprawiro mengenal betul watak penjajah sebagai penguasa pabrik yang kerap berbuat sewenang-wenang kepada karyawannya. Hal itulah yang kemudian menumbuhkan semangat perlawanan Asmoprawiro kepada Belanda.
Selain melakukan perlawanan secara fisik, Asmoprawiro juga mulai membakar semangat kaum muda melalui kesenian ketoprak. Untuk menghidupi perkumpulan budaya tersebut, ia terpaksa mencangkul sawah dan membuka warung kopi di luar pekerjaannya sebagai penjahit.
Kepada 10 putra-putri buah pernikahannya dengan Suriptinah, Asmoprawiro berpesan untuk mempertahankan budaya Jawa sebagai alat perjuangan dan penghidupan.
“Saya termasuk salah satu putra almarhum yang masih peduli untuk melestarikan budaya Jawa. Melalui padepokan ini, mari kita bangun kembali semangat perjuangan kepada tanah air dan bangsa,” ujar Harmoko. (bjc)
Kedatangan Harmoko ke Desa Patihanrowo, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Ahad (6/5/) kemarin bukanlah hal aneh bagi warga setempat. Pasalnya, mantan Menteri Penerangan dan Ketua DPR/MPR RI era Orde Baru tersebut lahir dan besar bersama 10 saudaranya di tempat itu.
Berbeda dengan kunjungannya saat menjabat sebagai pejabat negara beberapa tahun lalu, kedatangan Harmoko untuk meresmikan padepokan seni budaya kali ini tampak biasa-biasa saja. Tidak ada pengawalan apapun dari petugas Polres Nganjuk sebagaimana layaknya kunjungan orang penting.
Di depan puluhan pengurus padepokan dan seniman Jawa di Nganjuk dan Karesidenan Kediri yang hadir, Harmoko mengatakan bahwa pendirian ini untuk memenuhi wasiat almarhum ayahnya, Asmoprawiro.
Selain mantan pejuang kemerdekaan yang pernah bergabung dengan Barisan Penyelamat Republik Indonesia (BPRI) yang dipimpin Bung Tomo, Asmoprawiro juga dikenal sebagai seniman.
“Pendirian padhepokan ini merupakan amanah dari almarhum Bapak sebelum meninggal, sebagai tempat berkumpul dan berkreasi para seniman,” jelas Harmoko.
Karena itu, ia berharap agar para seniman tua lebih bisa terbuka kepada kaum muda agar tertarik untuk mempelajari dan mewarisi kebudayaan masyarakat Jawa. Apalagi perkembangan dunia informasi global tidak bisa dipungkiri telah mempengaruhi aliran kebudayaan kaum muda Indonesia.
Selain memperkenalkan susunan pengurus padepokan Trah Asmoprawiro, dalam kesempatan itu Harmoko juga membagi-bagikan brosur berisi profil sang ayah. Dalam brosur berbahasa Jawa tersebut dijelaskan bahwa darah seni sudah melekat pada diri Asmoprawiro sejak kecil.
Seniman yang lahir di Desa Jati, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk pada tahun 1901 silam ini memulai karir sebagai tukang jahit, yang mayoritas pelanggannya adalah buruh pabrik gula.
Karena seringnya berinteraksi dengan buruh pabrik, Asmoprawiro mengenal betul watak penjajah sebagai penguasa pabrik yang kerap berbuat sewenang-wenang kepada karyawannya. Hal itulah yang kemudian menumbuhkan semangat perlawanan Asmoprawiro kepada Belanda.
Selain melakukan perlawanan secara fisik, Asmoprawiro juga mulai membakar semangat kaum muda melalui kesenian ketoprak. Untuk menghidupi perkumpulan budaya tersebut, ia terpaksa mencangkul sawah dan membuka warung kopi di luar pekerjaannya sebagai penjahit.
Kepada 10 putra-putri buah pernikahannya dengan Suriptinah, Asmoprawiro berpesan untuk mempertahankan budaya Jawa sebagai alat perjuangan dan penghidupan.
“Saya termasuk salah satu putra almarhum yang masih peduli untuk melestarikan budaya Jawa. Melalui padepokan ini, mari kita bangun kembali semangat perjuangan kepada tanah air dan bangsa,” ujar Harmoko. (bjc)
0 Response to "Padepokan Seni Budaya"
Post a Comment