Siang itu (28/12), cuaca cukup panas. Beberapa saat kemudian, mendung tebal mulai berdatangan. Beberapa bahkan sudah terlihat menghitam. Itulah yang lantas membuat sejumlah warga Dusun Cangkringan resah.
Di dusun yang terletak di Desa Pacewetan, Kecamatan Pace ini puluhan warganya memang bergantung pada matahari. Bukan hanya untuk menjemur pakaian dan gabah. Namun, juga untuk menjemur krecek eyek. Kerupuk khas desa di pinggiran kecamatan ini.
Melihat mendung datang, sejumlah warga pun terlihat membolak-balik jemuran kreceknya. Mereka takut krecek atau kerupuk mentahnya itu tak kering. “Kalau musim begini ya sampai dua hari jemurnya. Ada hujan, jadi tidak bisa seharian,” ujar Suminem, 75, salah satu warga setempat.
Warga Desa Cangkringan memang banyak memproduksi kerupuk yang terbuat dari tepung gaplek atau tepung singkong ini. Setidaknya, ada puluhan orang yang menekuni pekerjaan membuat kerupuk ini.
Di musim penghujan ini, warga memilih tak terlalu ngoyo. Beberapa disibukkan dengan kegiatan tandur. Sedangkan warga lain yang masih memproduksi kerupuk mulai resah soal cuaca. “Masih banyak. Mbak Tum di belakang juga buat. Yang di depan jalan juga ada. Semua membuat,” lanjut nenek yang sudah dikaruniai 5 cucu ini.
Tak ada yang tahu secara pasti bagaimana pembuatan kerupuk khas desa sepempat ini dimulai. Namun, sejak nenek moyang mereka, membuat kerupuk sudah menjadi semacam tradisi.
Bahkan, menjelang hari raya, hampir semua warga kompak membuatnya. Tak hanya untuk dijual, tetapi juga untuk suguhan bagi para tamu. Suminem atau yang biasa disapa Mbah Nem, yang bisa dibilang paling senior di bidang pembuatan krecek uyek, juga mengaku tak tahu asal mulanya. “Dari dulu. Sejak saya masih perawan. Mbah-mbah sudah buat, saya bantu-bantu,” kata Mbah Nem lantas terkekeh.
Tradisi itu pun tetap dipertahankan sampai kini. Apalagi, di masa lalu, pembuatan kerupuk ini memang menjadi tumpuan ekonomi warga. Sebagai sentra kerupuk krecek uyek atau ada orang yang menyebutkan opak gedhek, kesejahteraan warga memang sangat terbantu.
Termasuk Suminem. Ia mengaku ketiga anaknya dibesarkan dari hasil penjualan kerupuk ini. Meski, untuk saat ini hasil penjualan kerupuk sudah sangat minim. Walaupun masih laku, tapi hasilnya sudah tak mencukupi. “Buat jajan cucu saja tak cukup,” bebernya.
Dengan rasa original singkong, harga kerupuk renyah yang bentuknya berlubang-lubang ini cukup murah. Harga mentahnya per 10 biji hanya Rp 5 ribu. Sementara jika sudah matang, harganya naik dua kali lipat. Padahal, jika sudah digoreng, diameternya bisa lebih dari sejengkal jari orang dewasa.
Meski tak bisa mengantongi banyak uang, namun warga mengaku tetap mempertahankan tradisi ini. Apalagi, desa setempat sudah menjadi jujukan beberapa pengepul. Mulai dari pengepul lokal, hingga mereka yang berasal dari luar kota, seperti Malang.
Kerupuk ini memang sudah menjadi ciri khas desa. Bahkan, beberapa waktu lalu juga ada rombongan mahasiswa yang menjadikan Dusun Cangkringan sebagai sarana belajar.
Sayangnya, meski masih lestari hingga saat ini, banyak produsen mengeluhkan minimnya modal. Padahal, sudah sejak lama mereka diberi janji-janji akan mendapatkan bantuan modal. “Sudah lama. Tapi nggak pernah cair. Ijazah jadi nggak ada guna,” sesal Suminem.
Ijazah yang dimaksudkannya adalah sebuah sertifikat pelatihan. Para warga produsen krecek uyek memang pernah mendapat pelatihan mengenai pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang digelar Pemkab Nganjuk beberapa waktu lalu.
Seiring sertifikat itu, kabar bantuan modal pun direncanakan bakal terkucur. Namun sampai saat ini, tidak pernah ada. “Padahal kalau tepungnya habis, harus beli lagi satu sak, harganya Rp 120 ribu. Kalau nggak ada modal, ya disisihkan sendiri. Selama ini memakai paitan (modal, Red) sendiri,” tandasnya. (ut)
Sumber : Radar
Sumber : Radar
0 Response to "Aktivitas Kampung Krecek Eyek di Dusun Cangkringan, Pacewetan"
Post a Comment