Mbah Tony, Mengabdi Tanpa Pamrih



indosiar.com, Jawa Timur - Sepintas, penampilan dan kemampuan mereka, seperti orang kebanyakan. Bisa memainkan gitar dan menyanyikan lagu dengan utuh. Namun siapa sangka, mereka adalah penderita Psikotik. Mereka orang-orang lupa ingatan. Seringkali disapa sebagai orang gila. Di sebuah padepokan inilah, mereka tengah dalam proses penyembuhan. Desa Sonobekel terletak di Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Sepintas, desa tersebut tidaklah lebih istimewa dari desa-desa tetangganya. Potret keseharian warganya yang berjumlah 5600 jiwa boleh terbilang sederhana. Mereka hidup dari bertani di ladang dan sawah, dengan penghasilan utama padi dan aneka palawija. Namun, dalam dua dasawarsa terakhir, tepatnya sejak tahun 1984, nama Desa Sonobekel menjadi sebuah fenomena.

Seiring dengan munculnya sosok Haji Tony Minggu Supono, yang tak lain adalah kades desa tersebut. Sosok kades yang akrab disapa Mbah Tony ini seakan-akan memberi citra baru bagi desa tersebut. Desa ini berubah menjadi sebuah rumah yang nyaman bagi mereka ya
ng lupa ingatan.

Ditempat inilah, mereka diperlakukan sebagai manusia yang dihargai dan dicintai. Rumah itu bernama Padepokan Ngudiwaluyo, yang dibangun di atas tanah selu
as 1,5 hektar. Saat ini, terdapat 42 pasien gila, 38 laki-laki dan 6 wanita. Mereka menempati 18 kamar di bangunan sebelah utara dan selatan dari bangunan utama rumah, tempat Mbah Tony tinggal bersama keluarganya. Di depan padepokan tersebut terdapat tiga sekolah dasar, Sonobekel.
Uniknya, walaupun sekeliling padepokan tidak dilengkapi pagar, para pasien tidak mengganggu anak-anak sekolah atau warga sekitarnya. Mereka juga tidak berkeliaran melewati batas areal padepokan. Sehingga padepokan ini terkesan seperti sebuah asrama.

Padepokan Ngudiwaluyo memang ibarat surga bagi pasien gila. Aktivitas pasien dari pagi hingga malam hari menjadi sebuah perjalanan menuju penyembuhan. Setiap pukul 06.00 pagi, para pasien dimandikan dengan teknik tertentu. Pertama-tama, air diguyurkan di atas kepala, diikuti bagian tubuh yang lain.


Kemudian, kepala mereka ditetesi sejenis minyak dar
i ramuan sembilan jenis racun, yang dinamakan Minyak Amal. Terapi ini bertujuan membuka pori-pori kulit yang mati rasa, merangsang respons syaraf otak serta memperlancar aliran darah. Bila pasien merasa kedinginan bahkan menggigil, pertanda positif bagi penyembuhan pasien. Usai mandi, mereka menikmati minuman eh panas, untuk menghangatkan tubuh.

Selanjutnya, temperatur tubuh pasien ditingkatkan lagi, untuk menambah daya respons terhadap dunia luar. Boleh dibilang, inilah tahapan inti proses penyembuhan, yakni olahraga, mulai dari senam dasar hingga sepak bola, yang dipimpin Mbah Tony dan asistennya. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Itulah filosofi dasar proses terapi.

Selain untuk menggerakkan seluruh tubuh,
proses tersebut juga bertujuan menciptakan komunikasi sesama pasien, melalui contoh atau instruksi yang diberikan. Bila pasien mengikuti instruksi, entah dengan mendengarkan atau melihat temannya, pertanda pasien mulai berkomunikasi aktif dengan lingkungan sekitarnya.

Inilah titik balik pasien menuju kesembuhan. Rasionya mulai peka dan mampu menangkap arti signal-signal dari dunia di luar dirinya. Setelah lelah berolahraga, intensitas kegiatan pasien perlahan-lahan menurun. Mereka dibiasakan mengenal lingkungan tempat tinggalnya, melalui kegiatan menyapu rumah dan memotong rumput. Sambil menanti makan siang, mereka bernyanyi dan
menari.

Suasana rileks ini bertujuan menciptakan alam kedamaian dalam pikiran pasien. Usai makan siang, para pasien dibiasakan tidur siang. Karena sore harinya, mereka akan kembali berolah raga dan mandi sore. Malam hari mereka kembali berkumpul di teras rumah utama. Mereka tampak akrab, sehingga kesan sebagai komunitas orang gila nyaris tidak ditemukan.

Ada yang bercengkerama satu sama lain, ada pula yang tampak serius menonton televisi. Yang lainnya, terlihat asyik bernyanyi sambil berjoget mengikuti alunan suara gitar yang mereka mainkan sendiri. Nyaris seluruh syair lagu tak ada yang terlewatkan. Suasana rekreatif sepe
rti ini bertujuan memberi sentuhan psikis untuk mengembalikan ingatan pasien.

Selain itu, acara tersebut juga bertujuan memancing emosi. Ekspresi tertawa, sedih bahkan menangis diyakini sebagai bahasa untuk mengungkapkan alam bawah sadar mereka. Bila pasien berani mengungkapkan emosinya, pertanda mulai mengenal situasi dirinya. Usai beraktivitas seharian, para pasien kembali ke biliknya masing-masing untuk istirahat . Esok hari, aktivitas serupa, telah menanti. Indikasi pasien sembuh perlahan namun pasti dapat mulai terdeteksi melalui aktivitas hari
an tersebut.

Ciri-ciri pasien mulai sembuh adalah mulai memisahkan diri dari kelompok dan menyendiri, bisa berkomunikasi dengan orang lain, muncul rasa malu untuk bergabung dengan kelompoknya sampai pada taraf mengatakan kepada kelompok pasien lainnya: wah…. Mereka ini orang edan. Pasien yang mulai sembuh biasanya mengenakan pakaian bebas, dan tidak ikut kegiatan pasien lainnya.

Suwarsono asal Kampung Mbali Turi, Kelurahan Ngelundo-nganjuk adalah salah satu pasien yang telah sembuh. Pria berusia 30 tahun, ayah dari 2 orang anak ini masu
k Padepokan Ngudiwaluyo lantaran masalah ekonomi keluarga dan istrinya enggan pindah dari rumah orang tuanya.

Awalnya, Suwarsono suka mengamuk dan melempar ru
mah warga dan bus yang lewat. Namun, setelah dirawat selama 2 minggu, Suwarsono akhirnya sembuh. Suasana haru bercampur bahagia tak terbendung lagi saat keluarga dipertemukan dengan Suwarsono. Setelah mengutarakan maksud menjemput, Mbah Tony memberikan minyak amal kepada keluarga, bila sesewaktu Suwarsono kambuh lagi.

Kemudian menyerahkannya kepada pihak keluarga. Suasana haru juga tampak saat Suwarsono berpamitan dengan teman-temannya. Suwarsono mengaku akan terus melanjutkan bekerja sebagai buruh tani di kampung halamannya.


Haji Tony
Minggu Supono, yang akrab disapa Mbah Tony adalah figur dibalik rahasia terapi penyembuhan para pasien gila tersebut. Suami Haja Siti Sutinah Aisyah ini berpenampilan nyentrik, selalu mengenakan pakaian serba hitam. Namun, pria ayah Roni Antikoyudo sangat ramah dan rendah hati.

Dirinya tidak mau disebut sebagai penyembuh, peramal dukun, atau orang pintar sekalipun. Baginya, merawat orang gila adalah ibadah, dan hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan. Mbah Tony mulai menangani pasien gila sejak tahun 1984. Pengalaman berjumpa dengan seorang gila tanpa busana di sebuah emperan toko di kota Nganjuk adalah inspirasi awal karyanya.

Segmen 2.

Siapa sangka, bila Haji Tony Minggu Supono, yang pernah melanglangbuana sebagai preman di era tahun 70-an di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, adalah figur dibalik rahasia terapi penyembuhan para pasien gila tersebut. Penampilannya cukup nyentrik, selalu mengenakan pakaian serba hitam.

Namun, dibalik perawakannya yang besar, tutur katanya sangat santun, sikapnya ramah dan rendah hati. Dirinya enggan disebut sebagai penyembuh, peramal, dukun, atau orang pintar. Baginya, merawat orang gila adalah sebuah ibadah.

Belakangan Mbah Tony tidak hanya dikenal sebagai perawat pasien hilang ingatan, tetapi juga bisa menyembuhkan aneka penyakit lainnya, seperti stroke dan Parkinson. Pengalaman spiritual yang dialaminya tahun 84 lalu, membuka jalan bagi dirinya untuk menolong sesama.

Sejak itu, ribuan pasien hilang ingatan, ia sembuhkan. Umumnya pasien yang ditangani, tingkat penderitaannya tergolong berat dan cenderung destruktif. Penyebabnya berbagai faktor, karena pengaruh ajaran sesat, masalah ekonomi keluarga, rumah tangga atau keinginan yang tak kesampaian. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti Surabaya, Jakarta, Bali, Banjarmasin, Medan, Menado, bahkan dari Riyadh – Arab Saudi. Biasanya mereka dirawat dalam hitungan minggu atau bulan.

Suwarsono misalnya, asal Kampung Mbali Turi, Kelurahan Ngelundo – Nganjuk. Pria berusia 30 tahun, ayah 2 anak ini, mengalami stress karena masalah ekonomi. Ia suka mengamuk dan melempari rumah warga atau bus yang lewat. Hanya butuh waktu 2 minggu menginap di padepokan Mbah Tony, kini ia telah dinyatakan sembuh.

Cinta Mbah Tony terhadap para pasien sedemikian besar. Di sela-sela tugas sebagai Kades Sonobekel yang telah diembannya selama tiga periode, sejak tahun 1982, Mbah Tony rela mencurahkan waktunya untuk merawat mereka.

Sehari ia rela hanya beristirahat selama 3 jam. Pagi hari, ia memandikan sendiri para pasien, dibantu 6 orang asisten. Demikian pula saat pasien berolahraga, ia yang memimpinnya. Kharisma yang dimiliki Mbah Tony, menjadi semangat dan harapan kesembuhan bagi pasien. Malam hari saat semua penghuni tertidur lelap, ia terus berjaga. Kamar pasien dikunjunginya satu-persatu. Bila menemukan pasien susah tidur karena cemas, ia langsung memberikan terapi.

Mbah Tony yang gemar mengumpulkan benda-benda antik, seperti keris dan wayang kulit ini, tak menutup mata bahwa padepokannya membutuhkan biaya operasional tak sedikit. Setidaknya 20 juta rupiah sebulan ia harus sediakan. Uang sejumlah itu, diperolehnya dari berbagai sumbangan, termasuk dari keluarga pasien. Berapapun ia terima dengan ikhlas.

Jumlah kamar yang terbatas, banyaknya pasien tunggu yang terus bertambah, dan sikap sejumlah keluarga pasien yang lepas tangan, menjadi beban tersendiri. Mbah Tony hanya bisa berharap, Pemda setempat dan Pemerintah Propinsi Jawa Timur mau membuka mata bagi usaha kemanusiaannya.

Mbah Tony pantang menyerah. Falsafah hidup dan karya kemanusiaannya disimbolkan dalam bentuk tulisan dan gambar yang terpampang di gapura halaman rumah. Roda melambangkan dunia yang terus berputar. Pocong mengingatkan kita pada situasi batas akhir hidup kita, yakni kematian. Keranda, melambangkan bahwa kita tidak mengusung sendiri jasad kita ke makam, tapi oleh orang lain yang masih hidup.

Ketiga simbol tersebut merangkum sebuah pesan kebijaksanaan hidup: agar selama hidup kita wajib beramal kepada sesama sebagai sebuah ibadah sejati kepada Tuhan. Falsafah ini pulalah yang memberi semangat bagi Mbah Tony mewujudkan impiannya untuk membuka padepokan sejenis di kota Jakarta dan Bali, yang sepantasnya didukung semua pihak. (Sup)

0 Response to "Mbah Tony, Mengabdi Tanpa Pamrih"

Post a Comment