Tradisi Mengarak Dua Waranggana (Legenda Gunung Perahu – Ngluyu)

illustrasi
Suasana pagi hari penuh suka cita bagi warga Desa Bajang, Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk waktu itu. Bahkan beberapa hari sebelumnya, suasana sudah penuh kegiatan yang lain dari hari hari biasanya. Seperti dilakoni, Suminah, (45) warga setempat dua hari telah menyiapkan perlengkapan sesaji yang bakal digunakan untuk kegiatan rituan arak-arakan dua pesinden ke Gunung Perahu. Suminah adalah salah satu dari penduduk desa setempat yang turut memeriahkan ritual tahunan, warga yang lain pun menyambut dengan aktifitas yang sama. "Semua warga sini kalau waktunya ngarak sinden (waranggana-red) pasti membuat persiapan, terutama sesaji yang akan dibawa ke Makam Mbah Dampu Awang," tutur Suminah.
Menurut pantauan Anjukzone, setiap tahun di desa lereng Gunung Kendeng ini memang selalu menyelenggarakan kegiatan ritual mengarak (mengantar ramai-ramai-red) dua orang waranggana ke Gunung Perahu. Konon menurut cerita salah satu perangkat desa, Mardi, ritual arakan dua sinden selelau dilangsung setiap tahun usai musim panen padi, selalu melaksanakan kegiatan ritual berupa arak-arakan dua pesinden menuju puncak Gunung Perahu. Di puncak gunung tersebut merupakan tempat di mana cikal-bakal terjadinya Gunung Perahu di Desa Bajang, Dampu Awang dimakamkan.
Menurut Mardi, ritual ngalab berkah tersebut sudah menjadi tradisi tahunan warga pegunungan Kendeng. Selain untuk nguri-nguri budaya leluhur, warga bertujuan Desa Bajang Khususnya, umumnya Kecamatan Ngluyu dan Kabupaten Nganjuk terhindar dari seluruh bencana."Ini merupakan tradisi tahunan warga,selain untuk melestarikan budaya nenek moyang,juga untuk ngalab berkah kepada tuhan yang maha esa,dengan cara melakukan ritual di makam Dampu Awang mas," tutur Mardi ditemu di sekitar lokasi ritual.
Keeunikan dari ritual tersebut, ratusan warga berkumpul dirumah salah satu tokoh desa dengan membawa sejumlah sesaji diantara bunga tuju rupa, ayam panggang nasi tumpeng dan beberapa persyaratan lain pada pagi hari, saat mentari pertama kali muncul dan menyapa cakrawala, wargapun berbondong mendaki puncak gunung perahu yang berjarak sekitar 3 kilometer dengan diringi musik mulut dan dua orang sinden yang cantik lengkap dengan pakaian adat jawa (kebaya/ sanggul/ selendang serta mengenakan kain jarik untuk bagian bawahanya)
Mulai dari anak-anak remaja hingga orang dewasa,m tidak perduli tokoh terpandang sampai warga yang kemungkinan hidup kekurangan, berjalan bersama-sama menuju puncak gunung, rasa lelahpun seakan bukanlah menjadi sebuah halangan bagi masyarakat pegunungan Kendeng, Sekitar 30 menit melakukan perjalanan dijalan setapak diantara perbukitan hijau yang terjal sampailah warga pada sebuah tempat yang terlihat sakral, sebuah pohon besar dengan akar-akar yang muncul dipermukaan tanah menjadi lokasi tersebut terlihat sangat alami jauh dari kemunafikan tangan jahil manusia.
Dua sinden yang semula diarak dengan keringat yang nyaris melunturkan bedaknya, dengan penuh semngat melatunkan tembang-tembang jawa, puluhan panjak (musisi gamelan) yang mengiringinyapun memberi warna tersendiri, pasalnya bukanya alat musik yang digunakan sebagai instrument melainkan mulut mereka dengan dibantu sebuah megaphon layaknya mahasisiwa saat melakukan aksi demo. Perwakilan warga yang bertugas menjadi perantara ritual memberikan sesaji serta mahar kepada juru kunci makam Dampu Awang, ritualpun dimulai ratusan warga dengan penuh khidmat menyampaikan keinginan mereka masing-masing kepada sang pencipta di lokasi sakral tersebut.
Ada yang meminta keselamatan keluarganya, kesembuhan dari penyakit yang diderita, diperlancar usaha atau pekerjaanya, panen melimpah bagi para petani, serta kelancaran kelulusan putra-putri mereka yang sedang menempuh ujian nasional, " Minta keselamatan keluarga semoga rezeki kami lancar,anak-anak bisa sekolah lagi setelah lulus dari Unas mas," kata Darmini salah satu warga yang mengikuti ritual. Sedangkan sejarah singkat Dampu Awang sendiri menurut Mardi, dahulu hamparan hutan di puncak gunung perahu tersebut adalah danau yang sangat luas, Sang Dampu Awang yang berlayar dengan kapalnya tiba-tiba terdampar, lama kelamaan air danau mongering, kawasan ini berubah menjadi hutan dan perahu dampu awang membentuk sebuah gundukan tanah.
Gundukan tanah dari puing-puing perahu inilah yang saat ini dikenal dengan sebutan gunung perahu, Dampu Awang sendiri yang sudah menetap dan menjadi penduduk pegunungan Kendeng setelah meninggal dunia, jasadnya disemayamkan di lokasi sakral tersebut. Terlepas percaya atau tidak dengan ritual masyarakat pegunungan Kendeng dalam kenyataannya, tradisi ini begitu melekat dan sudah menjadi bagian dari cara hidup warga Desa Bajang yang tinggal jauh di tengah hutan wilayah pegunungan Kendeng..
Sumber : Anjukzone

0 Response to "Tradisi Mengarak Dua Waranggana (Legenda Gunung Perahu – Ngluyu)"

Post a Comment